Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Jumat, 02 Maret 2012

DINAR and DIRHAM Fever, Never Ending Story!

Saat kita menyaksikan seorang penyanyi begitu percaya diri memperdengarkan suaranya di hadapan khalayak luas, sebuah tanya bergelanyut di pikiran, kenapa sang penyanyi tampak begitu menikmati perannya, padahal belum tentu semua orang menyukai corak suaranya atau aliran musiknya?

Saat seorang dai (ustadz) begitu tampak bersemangat di dalam menyampaikan dakwahnya di hadapan ribuan atau bahkan jutaan umat, sebuah rasa penasaran muncul, kenapa sang ustadz tampak begitu senang menjalankan perannya, tanpa sedikit pun rasa mengeluh?
Jawabnya adalah keyakinan akan sesuatu. Seorang penyanyi dapat tampil all out karena dia merasa yakin akan kemampuannya. Dia yakin akan kualitas suara emasnya, sehingga tak perlu ada lagi pikiran negatif yang melemahkan. Begitu pula sang ustadz, yang menyakini apa yang disampaikannya adalah ajaran agama yang lurus dan membantu masyarakat mengenalnya adalah anugerah tersendiri. Jadi buat apa mengeluh?
Begitu pula orang-orang yang berusaha membangunkan kembali DINAR dan DIRHAM setelah tidur panjangnya pasca keruntuhan kekhalifahan Islam di Turki. Berbekal keyakinan yang teguh, DINAR emas dan DIRHAM perak adalah bagian dari muamalat dalam syariah Islam, sekaligus mata uang yang lebih adil dan sudah selayaknya mulai menggantikan peran mata uang kertas (fiat money) yang angka nominalnya tak mencerminkan nilai aslinya dan terus tergerus INFLASI, orang-orang ini tidak kenal lelah mengajak masyarakat agar melek DINAR dan DIRHAM.
Bukti bahwa DINAR emas dan DIRHAM perak merupakan bagian dari muamalat dalam Islam termaktub dalam Alqur’an Surat Al-Kahfi ayat 19, yang terjemahannya kurang lebih sbb:
“Dan demikianlah, Kami Bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kamu ada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi), “Tuhan-mu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini)”. Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapapun”.
Dalam ayat tersebut dinyatakan salah seorang pemuda dalam gua diminta oleh temannya untuk membeli makanan dengan uang perak yang mereka miliki. Hal ini jelas tercermin, uang perak (dirham) merupakan bagian muamalat, bahkan jauh sebelum datangnya agama Islam.
Sementara mengenai penggunaan DINAR (emas), dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan,
“Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya mendengar penduduk bercerita tentang ‘Urwah, bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan uang satu DINAR kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau”.
Dengan landasan hukum yang jelas, para penggerak DINAR dan DIRHAM fever (demam) tidak henti-hentinya terus mengajak masyarakat untuk mulai mengalihkan uang kertasnya dalam bentuk DINAR dan DIRHAM. Walaupun DINAR dan DIRHAM saat ini kebanyakan digunakan masih sebatas untuk investasi (store of value), bukan alat tukar (medium of exchange), karena secara resmi mata uang Indonesia adalah rupiah, itu tidak mengapa. Minimal masyarakat sedikit-demi sedikit paham akan keunggulan DINAR dan DIRHAM dibanding uang kertas. Dan menyimpan hasil jerih payah kita dalam berusaha ke dalam bentuk DINAR dan DIRHAM adalah sangat sepadan, karena tabungan DINAR dan DIRHAM kita nilainya tidak sampai dirampok INFLASI, seperti yang berlaku pada uang kertas!
Seorang teman lantas bertanya, “Kenapa saya harus berinvestasi dalam bentuk koin DINAR 22 karat? Bukannya lebih menguntungkan kalau dalam bentuk emas murni 24 karat?”
Sebenarnya jawabannya sederhana, untuk instrument investasi kedua-duanya sama-sama menguntungkan, karena harga yang berlaku mengikuti harga emas dunia yang cenderung terus beranjak naik dari tahun ke tahun. Namun berinvestasi dalam bentuk koin DINAR 22 karat, memiliki satu kelebihan karena DINAR 22 karat adalah bagian dari muamalat di dalam ekonomi Islam, jadi memilikinya berarti kita telah mendorong tegaknya kembali ekonomi syariah, yang jauh lebih unggul dibanding sistem ekonomi kapitalis, karena berlandaskan rasa keadilan, dan tentu itu akan dicatat sebagai salah satu bentuk amal kebaikan.
Dengan semakin meleknya masyarakat terhadap DINAR dan DIRHAM, sangat diharapkan DINAR dan DIRHAM fever terus akan berlanjut, dan menjadi cerita yang tidak akan pernah ada habisnya (never ending story), sampai kemudian ekonomi syariah yang berlandaskan keadilan menjadi tegak kembali di seantero bumi, menggantikan posisi ekonomi kapitalis yang tanda-tanda kejatuhannya sudah mulai terlihat. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar